A. Fonetik dalam Bahasa Arab
Fonetik atau fonetika adalah bagian ilmu dalam linguistik yang mempelajari bunyi yang diproduksi oleh manusia. Disisi lain, fonologi adalah ilmu yang mempelajari sistem fonetika yang didasarkan pada fonetik (berkaitan dengan artikulator dan titik artikulasi).
Dalam bahasa Arab fonetik dapat disebut dengan ilmu Ashwat (علم الأصوات ), yaitu suatu ilmu yang membicarakan perihal bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur kata, sekaligus mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi – bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
Pokok masalah yang dibicarakan dalam ilmu Ashwat adalah cara mengucapkan abjad arab dengan fashih dan benar (makhroj huruf hijaiyah), baik ketika berdiri sendiri sebagai abjad maupun setelah dirangkaikan dan diberi harokat menurut keperluan yang ada.
B. Fungsi Huruf أ, ن, ي, ت dalam Fi’il Mudhori’
Fi’il Mudhori’ adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukkan suatu kejadian tertentu pada waktu sekarang atau yang akan datang.
Untuk mengetahui subjek/ pelaku yang dalam bahasa Arab disebut dengan Fa’il ( فاعل ) pada fi’il mudhori’ diperlukan empat huruf tersebut , ( أ, ن, ي, ت ) atau bisa disebut dengan huruf mudhoro’ah ( .( حروف المضارعة
Sebagai contoh, dalam kalimat dia (laki – laki) menulis dikatakan .هُوَ يَكْتُبُ Hurufي dalam awalan kata yang berasal dari كتب - يكتب merupakan penunjuk bahwa pelaku (orang yang menulis) adalah dia laki – laki.
Dalam hal ini, huruf أ, ن, ي, ت berperan sebagai afiks dalam kata kerja sekarang/ yang akan datang (Fi’il Mudhori’).
C. Identifikasi Bunyi dalam Bahasa Arab (Huruf Hijaiyah)
D. Pengelompokkan Huruf Hijaiyah Menurut Artikulator dan Titik Artikulasi, yaitu :
1. Artikulator : Pita Suara
Titik Artikulasi : Tenggorokan
Dalam kelompok ini, titik artikulasi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Tenggorokan paling dalam ( ء, ه )
b) Tenggorokan tengah ( ع, ح )
c) Tenggorokan paling atas ( غ, خ )
Menurut ilmu Makhorijul Huruf (ilmu yang mempelajari tentang tempat keluarnya huruf – huruf hijaiyah) ke–enam huruf tersebut dikategorikan sebagai huruf Al – Halaq, yaitu huruf – huruf yang keluar dari tenggorokan.
2. Artikulator : Pangkal Lidah
Titik Artikulasi : Tenggorokan
Terdapat dua huruf yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini, yaitu : قdan ك . Menurut pembagian dari artikulator dan titik artikulasi, ke–dua huruf ini dikategorikan dalam kelompok yang sama. Namun terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu artikulator huruf ك (pangkal lidah) terletak sedikit lebih atas dari huruf ق . Ke–dua huruf ini berasal dari makhroj Al – Lisan (lidah).
3. Artikulator : Tengah Lidah
Titik Artikulasi : Langit – langit atas
Huruf ي, ش, ج dikelompokkan dalam kategori ini. Ke–tiga huruf tersebut dinamakan huruf Syajariyah, yang berasal dari makhroj Al – Lisan.
4. Artikulator : Tepi (Kanan – Kiri) Lidah
Titik Artikulasi : Gigi geraham
Dalam kelompok ini hanya tedapat satu huruf, yaitu huruf ض . Huruf ini disebut huruf Janabi. Dalam ilmu Makhorijul Huruf, ض berasal dari makhroj Al – Lisan (lidah).
5. Artikulator : Ujung Lidah
Titik Artikulasi : Gusi gigi seri atas
Terdapat tiga huruf yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini, yaitu : ر, ن, ل .
Meskipun ketiga huruf ini termasuk dalam kelompok huruf yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan, diantaranya dari segi artikulator, yaitu : makhroj (tempat keluar) huruf ن terletak pada ujung lidah, dibawah sedikit makhroj ل , sedang makhroj huruf ر terletak pada ujung lidah lebih masuk ke punggung lidah (lebih dalam dari makhroj ن).
Huruf ر, ن, ل dikategorikan sebagi huruf Dzalqiyyah (ujung lidah) dan berasal dari makhroj Al – Lisan (lidah).
6. Artikulator : Punggung Ujung Lidah
Titik Artikulasi : Pangkal dua gigi seri atas
Huruf ط, د, ت dikelompokkan dalam kategori ini. Dalam bahasa Arab huruf – huruf ini dinamakan huruf Nith’iyyah.
7. Artikulator : Ujung Lidah
Titik Artikulasi : Dataran dua gigi seri atas
Tedapat tiga huruf yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini, yaitu : ص, س, ز .
Dalam bahasa arab huruf – huruf ini dinamakan huruf ‘Asaliyah (runcingnya lidah) dan berasal dari makhroj Al – Lisan (lidah).
8. Artikulator : Punggung Ujung Lidah
Titik Artikulasi : Ujung dua gigi seri atas
Huruf ظ, ذ, ت termasuk dalam satu kelompok dari segi artikulator dan titik artikulasinya. Huruf – huruf ini disebut huruf litsawiyah (gusi) dan berasal dari makhroj Al – Lisan.
9. Artikulator : Bagian Dalam Bibir Bawah
Titik Artikulasi : Ujung dua gigi seri atas
Dalam kelompok ini hanya terdapat satu huruf, yaitu : ف . Huruf ini berasal dari makhroj Asy – Syafataini (dua bibir)
10. Artikulator : Bibir Bawah
Titik Artikulasi : Bibir Atas
Terdapat tiga huruf dalam kelompok ini, yaitu : و, ب, م . Huruf – huruf tersebut dinamakan huruf Syafawiyyah (bibir) dan berasal dari makhroj Asy – Syafataini (dua bibir).
E. Pembentukkan Kata dalam Bahasa Arab
Cabang ilmu dalam bahasa Arab yang khusus mempelajari tentang perubahan kata (dalam bahasa Arab : kalimat) disebut ilmu Sharaf. Dalam prakteknya perubahan kata ini disebut dengan Tashrif.
Definisi Ilmu Sharaf menurut Kitab Syarah Kailani adalah :
إعلم أن التصريف فى اللغة : التغيير, و فى الصناعة : تحويل الأصل الواحد إلى أمثلة مختلفة لمعان مقصودة لاتحصل إلى بها
Ketahuilah! Bahwa yang dinamakan Tashrif menurut bahasa : Perubahan. Dan menurut istilah : mengubah asal bentuk kalimat yang satu kepada model – model bentuk yang berbeda, untuk menghasilkan makna – makna yang diharapkan, yang tidak akan berhasil kecuali dengan cara itu.
Maksud dan tujuan dari perubahan ini adalah agar memperoleh makna atau arti yang berbeda. Dari perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya dalam bahasa Arab dinamakan Shighot.
F. Pengelompokkan Tashrif (Perubahan Kata dalam Bahasa Arab)
Dalam ilmu Sharaf, para ulama telah membagi tashrif menjadi dua macam, yaitu : Tashrif Ishtilahiy dan Tashrif Lughowiy.
Tashrif Ishtilahiy adalah perubahan kata dalam bahasa Arab untuk mengetahui jenis kata dari perubahan akar kata tersebut. Tashrif ini disebut juga dengan tashrif mendatar, karena ditulis mendatar pada kitab Amtsilah Tashrifiyyah. Contoh :
فَعَلَ – يَفْعُلُ – فَعْلاً – مَفْعَلاً – فَاعِلٌ – مَفْعُوْلٌ – اُفْعُلْ – لاَتَفْعُلْ – مَفْعَلٌ – مِفْعَلُ
Tashrif Lughowiy adalah perubahan kata dalam bahasa Arab untuk mengetahui pelaku fi’il (kata kerja) berdasarkan dhomir (kata ganti) yang berjumlah 14 :
Tashrif Lughowiy dibagi menjadi dua, yaitu Tashrif Lughowiy untuk Fi’il Mudhori’ (kata kerja kini dan yang akan datang) dan Tashrif Lughowiy untuk Fi’il Madhi (kata kerja lampau).
Contoh Tashrif Lughowiy untuk fi’il Madhi
Contoh Tashrif Lughowiy untuk fi’il Mudhori’
Banner Isi
Rabu, 02 Februari 2011
Pengantar Ilmu Sastra
I. Sastra dan Ilmu Sastra
1. Pengantar
Sastra dan Ilmu sastra adalah dua hal yang berbeda namun berkaitan. Sastra merupakan sekelompok teks yang mengandung nilai – nilai kebaikan dan ditulis dalam bahasa yang indah. Sedangkan Ilmu sastra meneliti sifat – sifat yang terdapat dalam teks sastra beserta fungsi dan perannya dalam masyarakat.
Mempelajari Ilmu sastra secara sistematik serta fungsinya di dalam masyarakat menimbulkan ketertarikan untuk membaca karya – karya sastra dan mengapresiasikannya dengan baik. Untuk memahami sebuah karya sastra dengan baik, diperlukan rasa keingintahuan yang besar untuk mempelajari karya sastra tersebut. Selain itu, pengalaman dalam membaca karya sastra dan pengalaman dalam kehidupan nyata juga berpengaruh dalam apresiasi karya sastra.
Ilmu sastra tidak hanya mempelajari kaidah – kaidah, sistem – sistem, skema, dan media komunikasi dari sebuah karya sastra, akan tetapi juga mempelajari sistem serta perkembangan karya sastra lain beserta cirri – cirinya. Karena dengan membaca sebuah karya sastra dan membandingkannya dengan yang lain dapat memperdalam pemahaman teoritik atau melahirkan kritik sastra untuk mengoreksi pengertian teoritik tersebut.
Terdapat berbagai sifat dalam penelitian sastra. Diantaranya adalah penelitian yang bersifat hermeneutik, yaitu penafsiran dan penilaian terhadap sebuah teks.
2. Pengertian Sastra
A. Masalah – masalah yang Timbul dalam Mendefinisikan Sastra
Terdapat berbagai macam definisi mengenai sastra. Namun hingga saat ini definisi tentang sastra masih sering diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena definisi – definisi tersebut dirasa kurang memuaskan, adapun alasannya adalah :
1) Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus. Padahal sebuah karya sastra mempunyai hubungan yang erat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Terkadang definisi sastra ingin mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk sebuah kurun waktu, namun tidak untuk kurun waktu yang lain.
2) Orang ingin mencari definisi ontologis tentang sastra (ingin mengungkapkan hakikat sastra). Seperti diketahui, karya sastra adalah hasil kreativitas dari masing – masing individu, sehingga tidak mungkin menilai bahwasanya semua karya sastra adalah sama.
3) Orientasi penilaian sebuah karya sastra selalu berkiblat pada sastra Barat. Padahal belum tentu kajian dalam sastra Barat sesuai dengan sastra dari wilayah lain.
4) Terjadi percampuran antara mendefinisikan karya sastra satu dengan lainnya. Misalnya dalam mendefinisikan sebuah puisi terjadi kekeliruan dengan mendefinisikan puisi tersebut sebagai karya sastra umum.
B. Definisi – definisi Historik
Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman Romantik tidak merupakan sebuah kesatuan. Tidak semua tokoh Romantik mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Namun demikian, terdapat ciri yang selalu muncul dari definisi yang pernah diungkapkan, diantaranya :
1) Sastra merupakan sebuah ciptaan atau kreasi, bukan imitasi.
2) Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), tidak bersifat komunikatif.
3) Karya sastra yang otonom itu bersifat koherensi, yaitu adanya keselarasan antara bentuk dan isinya.
4) Sastra merupakan sintesa (jalan tengah) antara hal – hal yang saling bertentangan, baik disadari maupun tidak.
5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Dalam sebuah teks sastra, kita akan menjumpai makna yang dalam kehidupan dan bahasa sehari – hari tidak dapat diungkapkan.
Aliran Romantik sangat menghargai bentuk, yaitu cara sebuah karya sastra mengungkapkan sesuatu. Bagi kaum Formalis (sekelompok teoretikus sastra dari Rusia) cara pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan.
Lain dari kaum Romantisi, kaum Formalis tidak menganggap bahasa kiasan sebagai ciri khas bagi sifat kesastraan. Menurut mereka, efek kiasan justru mempercepat pengertian.
Para Formalis mencirikan sastra sebagai teks yang oleh pengarangnya diberi efek mengasingkan dan melepaskan dari otomatisasi (deotomatisasi) untuk penyerapan pembaca. Bagi para Formalis sastra bukanlah sesuatu yang tetap, akan tetapi susunannya terus berubah.
Dalil tersebut pernah dijabarkan oleh Roman Jakobson, yaitu fungsi puitik adalah dominan dalam sastra, tetapi fungsi tersebut juga dijumpai dalam pemakaian non – sastra.
Menurut Jakobson, fungsi puitik dapat diketahui bilamana muncul ekuivalensi, persamaan atau pertentangan yang menyolok dan bersifat sistematik.
Deskripsi mengenai fungsi puitik juga dikemukakan oleh Mukorovsky, seorang penganut aliran strukturalistik Praha. Menurutnya fungsi bahasa puitik akan muncul apabila sebuah ungkapan diungkapkan secara sistematik. Bahasa puisi tidak diungkapkan dari luar, di dalamnya sudah mengandung nilai estetik dan fungsional yang mampu mengarahkan perhatian pembaca terhadap hubungan bahasa – kenyataan.
Baik kaum Romantisi maupun Teoritisi mengutamakan teks – teks sastra, karena nilainya yang istimewa. Sebuah ciri khas lain yang pernah diutarakan adalah unsur fiksionalitas, yang menunjukkan bawa teks tersebut mengacu pada dunia yang sebagian bersifat rekaan.
C. Sastra Itu Apa ?
Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Dalam mendefinisikan sastra, Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn berpendapat bahwa :
1) Karya sastra adalah teks – teks yang tidak selalu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
2) Karya sastra adalah teks – teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
3) Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
4) Dala sastra bahannya diolah secara istemewa.
5) Karya sastra dapat dibaca menurut tahapan arti yang berbeda.
6) Karya yang bersifat fiksi dan non – fiksi dapat dibedakan.
7) Terdapat karya sastra yang semula tidak dianggap sebagai karya sastra, tetapi kemudian dikategorikan sebagai karya sastra. Contoh : Orang Kristen membaca kitab injil dengan cara lain daripada Non – Kristen.
8) Karena sifatnya rekaan, sastra tidak mengatakan sesuatu secara langsung dan tidak menggugah kita untuk langsung bertindak.
9) Sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau orang lain.
10) Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman baru.
11) Bahasa dan sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
12) Sastra dapat digunakan untuk mengetahui nilai – nilai dan norma – norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan cara mempelajari kebudayaannya.
1. Pengantar
Sastra dan Ilmu sastra adalah dua hal yang berbeda namun berkaitan. Sastra merupakan sekelompok teks yang mengandung nilai – nilai kebaikan dan ditulis dalam bahasa yang indah. Sedangkan Ilmu sastra meneliti sifat – sifat yang terdapat dalam teks sastra beserta fungsi dan perannya dalam masyarakat.
Mempelajari Ilmu sastra secara sistematik serta fungsinya di dalam masyarakat menimbulkan ketertarikan untuk membaca karya – karya sastra dan mengapresiasikannya dengan baik. Untuk memahami sebuah karya sastra dengan baik, diperlukan rasa keingintahuan yang besar untuk mempelajari karya sastra tersebut. Selain itu, pengalaman dalam membaca karya sastra dan pengalaman dalam kehidupan nyata juga berpengaruh dalam apresiasi karya sastra.
Ilmu sastra tidak hanya mempelajari kaidah – kaidah, sistem – sistem, skema, dan media komunikasi dari sebuah karya sastra, akan tetapi juga mempelajari sistem serta perkembangan karya sastra lain beserta cirri – cirinya. Karena dengan membaca sebuah karya sastra dan membandingkannya dengan yang lain dapat memperdalam pemahaman teoritik atau melahirkan kritik sastra untuk mengoreksi pengertian teoritik tersebut.
Terdapat berbagai sifat dalam penelitian sastra. Diantaranya adalah penelitian yang bersifat hermeneutik, yaitu penafsiran dan penilaian terhadap sebuah teks.
2. Pengertian Sastra
A. Masalah – masalah yang Timbul dalam Mendefinisikan Sastra
Terdapat berbagai macam definisi mengenai sastra. Namun hingga saat ini definisi tentang sastra masih sering diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena definisi – definisi tersebut dirasa kurang memuaskan, adapun alasannya adalah :
1) Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus. Padahal sebuah karya sastra mempunyai hubungan yang erat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Terkadang definisi sastra ingin mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk sebuah kurun waktu, namun tidak untuk kurun waktu yang lain.
2) Orang ingin mencari definisi ontologis tentang sastra (ingin mengungkapkan hakikat sastra). Seperti diketahui, karya sastra adalah hasil kreativitas dari masing – masing individu, sehingga tidak mungkin menilai bahwasanya semua karya sastra adalah sama.
3) Orientasi penilaian sebuah karya sastra selalu berkiblat pada sastra Barat. Padahal belum tentu kajian dalam sastra Barat sesuai dengan sastra dari wilayah lain.
4) Terjadi percampuran antara mendefinisikan karya sastra satu dengan lainnya. Misalnya dalam mendefinisikan sebuah puisi terjadi kekeliruan dengan mendefinisikan puisi tersebut sebagai karya sastra umum.
B. Definisi – definisi Historik
Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman Romantik tidak merupakan sebuah kesatuan. Tidak semua tokoh Romantik mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Namun demikian, terdapat ciri yang selalu muncul dari definisi yang pernah diungkapkan, diantaranya :
1) Sastra merupakan sebuah ciptaan atau kreasi, bukan imitasi.
2) Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), tidak bersifat komunikatif.
3) Karya sastra yang otonom itu bersifat koherensi, yaitu adanya keselarasan antara bentuk dan isinya.
4) Sastra merupakan sintesa (jalan tengah) antara hal – hal yang saling bertentangan, baik disadari maupun tidak.
5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Dalam sebuah teks sastra, kita akan menjumpai makna yang dalam kehidupan dan bahasa sehari – hari tidak dapat diungkapkan.
Aliran Romantik sangat menghargai bentuk, yaitu cara sebuah karya sastra mengungkapkan sesuatu. Bagi kaum Formalis (sekelompok teoretikus sastra dari Rusia) cara pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan.
Lain dari kaum Romantisi, kaum Formalis tidak menganggap bahasa kiasan sebagai ciri khas bagi sifat kesastraan. Menurut mereka, efek kiasan justru mempercepat pengertian.
Para Formalis mencirikan sastra sebagai teks yang oleh pengarangnya diberi efek mengasingkan dan melepaskan dari otomatisasi (deotomatisasi) untuk penyerapan pembaca. Bagi para Formalis sastra bukanlah sesuatu yang tetap, akan tetapi susunannya terus berubah.
Dalil tersebut pernah dijabarkan oleh Roman Jakobson, yaitu fungsi puitik adalah dominan dalam sastra, tetapi fungsi tersebut juga dijumpai dalam pemakaian non – sastra.
Menurut Jakobson, fungsi puitik dapat diketahui bilamana muncul ekuivalensi, persamaan atau pertentangan yang menyolok dan bersifat sistematik.
Deskripsi mengenai fungsi puitik juga dikemukakan oleh Mukorovsky, seorang penganut aliran strukturalistik Praha. Menurutnya fungsi bahasa puitik akan muncul apabila sebuah ungkapan diungkapkan secara sistematik. Bahasa puisi tidak diungkapkan dari luar, di dalamnya sudah mengandung nilai estetik dan fungsional yang mampu mengarahkan perhatian pembaca terhadap hubungan bahasa – kenyataan.
Baik kaum Romantisi maupun Teoritisi mengutamakan teks – teks sastra, karena nilainya yang istimewa. Sebuah ciri khas lain yang pernah diutarakan adalah unsur fiksionalitas, yang menunjukkan bawa teks tersebut mengacu pada dunia yang sebagian bersifat rekaan.
C. Sastra Itu Apa ?
Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Dalam mendefinisikan sastra, Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn berpendapat bahwa :
1) Karya sastra adalah teks – teks yang tidak selalu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
2) Karya sastra adalah teks – teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
3) Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
4) Dala sastra bahannya diolah secara istemewa.
5) Karya sastra dapat dibaca menurut tahapan arti yang berbeda.
6) Karya yang bersifat fiksi dan non – fiksi dapat dibedakan.
7) Terdapat karya sastra yang semula tidak dianggap sebagai karya sastra, tetapi kemudian dikategorikan sebagai karya sastra. Contoh : Orang Kristen membaca kitab injil dengan cara lain daripada Non – Kristen.
8) Karena sifatnya rekaan, sastra tidak mengatakan sesuatu secara langsung dan tidak menggugah kita untuk langsung bertindak.
9) Sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau orang lain.
10) Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman baru.
11) Bahasa dan sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
12) Sastra dapat digunakan untuk mengetahui nilai – nilai dan norma – norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan cara mempelajari kebudayaannya.
Langganan:
Postingan (Atom)